Asal Mula Orang Jawa di Suriname

 Sejarah

Jauh sebelum Pemerintah Republik Indonesia mengirimkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri, Pemerintah Kerajaan Belanda sejak tahun 1890 s/d 1939 telah mengirimkan 32.956 orang tenaga kerja asal Pulau Jawa ke Suriname. Kedudukan Suriname dan Indonesia pada waktu itu, adalah sama-sama Negara Jajahan di bawah Pemerintah Kerajaan Belanda.

Maksud dan tujuan pengiriman tenaga kerja itu adalah untuk menambah kekurangan tenaga kerja di beberapa perkebunan yang ada di Suriname. Kekurangan tenaga kerja itu sendiri adalah akibat dihapus dan dibebaskannya sistem perbudakan pada tanggal 1 Juli 1863. Dampaknya, banyak perkebunan tidak terurus, sehingga terlantar. Perekonomian Suriname yang semula tergantung dari hasil perkebunan, turun drastis.

Pertimbangan lain dari Pemerintah Kerajaan Belanda yang mengirimkan tenaga kerja ke Suriname saat itu adalah karena rendahnya perekonomian penduduk di pulau Jawa, yang disebabkan oleh bencana alam meletusnya gunung berapi dan padatnya jumlah penduduk. Akan tetapi menurut disertasi Prof. DR. Yusuf Ismaildi Universitas Leiden di Belanda tahun 1949 menyatakan: Bukan kelebihan penduduk yang menjadi alasan untuk beremigrasi ke Suriname, melainkan kemelaratan yang sangat, yang diderita penduduk dibeberapa daerah di Jawa pada satu pihak dan kepentingan perkebunan-perkebunan di Suriname pada lain pihak. Oleh karenanya, maka kebanyakan para tenaga kerja itu berasal dari Jawa Tengah, ada juga dari Jawa Timur dan yang paling sedikit dari Jawa Barat.

Gelombang pertama pengiriman tenaga kerja itu diberangkatkan dari Batavia (Jakarta) pada tanggal 21 Mei 1890 dengan kapal SS Koningin Emma. Setelah singgah di Negeri Belanda, akhirnya kapal tiba di Suriname pada tanggal 09 Agustus 1890. Oleh sebagian masyarakat Indonesia baik yang sekarang masih tinggal di Suriname maupun yang tinggal di Negeri Belanda, selalu mengenang dan memperingati tanggal 09 Agustus sebagai suatu tanggal yang sangat bersejarah.

Tenaga kerja gelombang pertama sebanyak 94 orang, terdiri dari 61 orang pria, 31 orang wanita dan 2 orang anak dan ditempatkan di perkebunan tebu dan pabrik gula Marienburg. Tenaga kerja gelombang kedua sebanyak 582 orang, tiba di Suriname pada tanggal 16 Juni 1894 dengan kapal SS Voorwaarts. Karena muatan kapal kedua ini melebihi kapasitas, menyebabkan kapal tidak memenuhi syarat sebagai kapal angkut personil.

Akibatnya 64 orang penumpang kapal meninggal dunia dan 85 orang harus dirawat di rumah sakit, setelah kapal tiba di pelabuhan Paramaribo, Suriname. Kejadian yang menyedihkan ini tidak ada tanggapan dari Pemerintah Belanda, bahkan begitu saja dilupakan. Mungkin Pemerintah Kerajaan Belanda beranggapan bahwa yang meninggal itu hanya para pekerja miskin, sehingga tidak perlu ada tindakan apa-apa. Meskipun demikian, pengiriman tenaga kerja ini berjalan terus sepanjang tahun sampai dengan pengiriman terakhir sebanyak 990 orang yang tiba di Suriname pada tanggal 13 Desember 1939.

Dari tahun 1890 s.d. 1914 rute pelayaran ke Suriname selalu singgah di Negeri Belanda, selebihnya tidak. Pengiriman para tenaga kerja itu menggunakan 77 buah kapal laut, dilaksanakan oleh Perusahaan Pelayaran Swasta, De Nederlandsche Handel Maatschappij. Tetapi sejak tahun 1897 pengiriman tenaga kerja dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah Hindia Belanda.


Ternyata program pengiriman tenaga kerja ke Suriname ini, telah mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa. Atas dasar itu maka pada bulan November 1905 Pemerintah Kerajaan Belanda memindahkan 155 kepala keluarga (KK) asal Pulau Jawa (dari Keresidenan Kedu, yaitu dari Kabupaten Karanganyar, Kebumen dan Purworejo ke daerah Gedong Tataan di Keresidenan Lampung, Sumatra Selatan Ini adalah awal mula Sejarah Transmigrasi di Indonesia pada zaman Belanda dengan nama Kolonisasi.

 

Lapangan Kerja dan Pengupahan

 

Pada waktu itu di Suriname sudah ada tenaga kerja yaitu orang-orang Creole asal Afrika yang dibawa ke Suriname pada awal abad 16 sebagai budak belian. Kemudian datang orang-orang Tionghoa yang dibawa ke Suriname pada tahun 1853 dan orang-orang Hindustan asal Calcuta, India yang tiba di Suriname pada tanggal 04 Juni 1873. Orang-orang Creole asal Afrika yang tidak tahan bekerja sebagai budak, banyak yang melarikan diri ke dalam hutan, sehingga ada Creole Kota dan Creole Hutan. Semula Creole Hutan ini disebut “Djoeka” tetapi sekarang mereka telah menamakan diri suku Marron dan jumlahnya menempati urut No.3 setelah orang-orang Creole dan Hindustan.

Sampai dengan tahun 1930 para TKI itu dipekerjakan di perkebunan tebu, cacao (coklat), kopi dan pertambangan bauxite di bawah Poenale Sanctie. Sesudah tahun itu mereka bekerja sebagai buruh merdeka, tetapi faktanya masih harus bekerja dengan syarat-syarat Poenale Sanctie.

Gaji yang diterima oleh pekerja laki-laki usia diatas 16 tahun sebesar 60 sen sehari dan pekerja wanita usia diatas 10 tahun sebesar 40 sen sehari. Berdasarkan perjanjian, para tenaga kerja itu harus bekerja (kontrak) selama 5 tahun. Dengan ketentuan, mereka harus bekerja selama 6 hari dalam satu minggu. Setiap hari harus bekerja selama 8 jam di perkebunan atau 10 jam di pabrik. Setelah masa kontrak berakhir, mereka diberi hak untuk pulang kembali ke Indonesia atas biaya Pemerintah Belanda.

Menurut catatan, antara tahun 1890 dan 1939 sebanyak 8.130 orang TKI telah menggunakan haknya kembali ke Indonesia, yaitu:

1.     Tahun 1897 sebanyak 18 orang, terdiri dari 08 orang pria, 08 orang wanita dan 02 orang anak.

2.     Tahun 1900 sebanyak 36 orang, terdiri dari 18 orang pria, 13 orang wanita dan 05 orang anak.

3.     Tahun 1903 sebanyak 99 orang, terdiri dari 61 orang pria, 27 orang wanita dan 11 orang anak.

4.     Tahun 1904 sebanyak 137 orang, terdiri dari 84 orang pria, 39 orang wanita dan 14 orang anak.

5.     Tahun 1905 sebanyak 149 orang, terdiri dari 94 orang pria, 34 orang wanita dan 21 orang anak.

6.     Tahun 1906 sebanyak 339 orang, terdiri dari 230 orang pria, 69 orang wanita dan 40 orang anak.

7.     Tahun 1907 sebanyak 200 orang, terdiri dari 139 orang pria, 42 orang wanita dan 19 orang anak.

8.     Tahun 1908 sebanyak 217 orang, terdiri dari 144 orang pria, 49 orang wanita dan 24 orang anak.

9.     Tahun 1909 sebanyak 219 orang, terdiri dari 124 orang pria, 62 orang wanita dan 33 orang anak.

10. Tahun 1910 sebanyak 223 orang, terdiri dari 138 orang pria, 53 orang wanita dan 32 orang anak.

11. Tahun 1912 sebanyak 413 orang, terdiri dari 235 orang pria, 118 orang wanita dan 60 orang anak.

12. Tahun 1914 sebanyak 395 orang, terdiri dari 235 orang pria, 112 orang wanita dan 49 orang anak.

13. Tahun 1920 sebanyak 338 orang, terdiri dari 218 orang pria, 96 orang wanita dan 24 orang anak.

14. Tahun 1923 sebanyak 205 orang, terdiri dari 138 orang pria, 60 orang wanita dan 07 orang anak.

15. Tahun 1928 sebanyak 657 orang, terdiri dari 310 orang pria, 260 orang wanita dan 87 orang anak.

16. Tahun 1929 sebanyak 452 orang, terdiri dari 246 orang pria, 162 orang wanita dan 44 orang anak.

17. Tahun 1930 sebanyak 607 orang, terdiri dari 343 orang pria, 190 orang wanita dan 74 orang anak.

18. Tahun 1931 sebanyak 667 orang, terdiri dari 333 orang pria, 224 orang wanita dan 110 orang anak.

19. Tahun 1935 sebanyak 893 orang, terdiri dari 398 orang pria, 319 orang wanita dan 176 orang anak.

20. Tahun 1936 sebanyak 556 orang, terdiri dari 249 orang pria, 199 orang wanita dan 108 orang anak

21. Tahun 1937 sebanyak 422 orang, terdiri dari 203 orang pria, 138 orang wanita dan 81 orang anak.

22. Tahun 1938 sebanyak 442 orang, terdiri dari 220 orang pria, 146 orang wanita dan 89 orang anak.

23. Tahun 1939 sebanyak 446 orang, terdiri dari 216 orang pria, 144 orang wanita dan 86 orang anak.

Pada tahun 1947 terjadi lagi gelombang Repatriasi berikutnya sekitar 700 orang, menggunakan kapal Tabian. Selebihnya memilih tetap tinggal di Suriname, walaupun hubungan kerja kontrak dengan para pemilik perkebunan sudah berakhir. Mereka yang memilih tetap tinggal di Suriname, dan tidak ingin pulang ke Indonesia, memperoleh pembagian sebidang tanah garapan serta menerima penggantian uang Repatrasi sebesar 100 gulden Suriname per orang. Pada masa kejayaan perkebunan tebu mulai merosot, banyak pekerja Indonesia yang beralih profesi menjadi pekerja pertambangan bauxit di Moengo, Paranam dan Biliton. Akibatnya beberapa daerah yang semula dikenal sebagai “district orang-orang Jawa” yang bertani dan bercocok tanam, antara lain di district Commewijne, Saramacca, Coronie dan Nickerie, terasa semakin berkurang jumlahnya.

 

Keadaan Sosial dan Budaya di Suriname Masa Kini

 

Meskipun orang-orang Indonesia ini telah lebih dari 100 tahun tinggal di Suriname, kenyataannya mereka masih memiliki adat dan kebiasaan seperti di Pulau Jawa, antara lain masih ditemukan pesta tayuban, wayang kulit, wayang orang, ludruk, tarian jaran kepang, dll. Di District tertentu yang sebagian besar penduduknya orang-orang Indonesia, “suasana Jawa” masih terasa kental. Sayangnya, bahasa Indonesia belum dimengerti, karena memang belum diajarkan secara intensif.

Bahasa Jawa “ngoko” masih digunakan terutama oleh para orang tua dan kalangan terbatas, khususnya di “District orang-orang Jawa”. Bahasa India juga masih digunakan dikalangan orang-orang India. Bahasa Nasional Suriname adalah Bahasa Belanda. Bahasa lain yang bisa dikatakan sebagai “Bahasa Nasional Kedua” adalah Sranangtongo atau Taki-Taki. Bahasa ini digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari dan dimengerti oleh mereka yang berasal dan dilahirkan di Suriname, termasuk penulis makalah ini.

Perkembangan dan kemajuan dalam sektor sosial budaya, membaik. Sektor pendidikan telah berkembang cukup maju. 88% dari jumlah penduduk tidak buta huruf. Pemerintah menyediakan anggaran pada sektor pendidikan sekitar 18%. Di sektor lain, Pemerintah melalui Kementerian Sosial, telah menyediakan biaya kesehatan secara cuma-cuma khususnya kepada mereka yang berpenghasilan rendah yang jumlahnya sekitar 250 ribu orang. Khusus bagi Pegawai Negeri dan anggota keluarganya yang jumlahnya sekitar 105 ribu orang telah diarahkan untuk mengikuti program asuransi kesehatan melalui Yayasan Kesehatan Negara (Staats Zieken Fonds). Sektor perumahan mengalami banyak kemajuan, karena Pemerintah telah menyediakan uang pinjaman kepada penduduk agar bisa membangun rumah baru atau memperbaiki rumah yang sudah ada dengan bunga yang rendah. Hampir setiap penghuni rumah yang pada umumnya sudah mapan itu, memiliki sebuah mobil sendiri bahkan ada yang lebih. Khusus sektor Pertanian sangat maju. Hal ini terbukti dengan adanya proyek pertanian padi di daerah Wageningan, yang sawah-sawahnya yang sangat luas. Sesayup-sayup mata memandang, terhampar menghijau tanaman padi sawah dengan irigasi yang sangat teratur. Tentunya manajemen dan teknologi pertanian di Wageningan ini telah maju dan dilakukan dengan baik sekali. Tidaklah berlebihan apabila Wageningen yang terletak didistrik Nickerie, disebut sebagai lumbung padi Suriname. Akan tetapi didaerah pedalaman, terutama yang berbatasan dengan Brasilia, saat ini ditemukan ada beberapa penduduk asal Brasilia yang masuk wilayah Suriname untuk menambang emas secara illegal. Pengangguran telah turun dari 16% menjadi 11%, ini disebabkan lapangan kerja meningkat, yaitu wanita dari 34% menjadi 37% dan pria dari 66% menjadi 73%. Setelah merdeka, Suriname telah memiliki mata uang sendiri yaitu Surinamese Dollar (SRD).

$ 1,- = sekitar SRD 3,- atau 1 SRD = sekitar Rp 3.000,-

Pada Pemilu tanggal 25 Mei 2005 telah berhasil memilih 8 orang Indonesia menjadi anggota DPR dan sekaligus berhasil memilih Bapak Paul Salam Soemohardjo sebagai Ketua Parlemen (DPR) Republik Suriname. Akan tetapi setelah Pemilu tahun 2010 Bapak Paul Somohardjo tidak lagi terpilih menjadi Ketua DPR dan hanya sebagai anggota DPR biasa.

Dari total 51 orang anggota DPR Republik Suriname hasil Pemilu tahun 2010, 9 (sembilan) orang diantaranya adalah wong Jowo, yaitu:

1.    Paul Salam Soemohardjo (PL)

2.    Hendrik Sakimin (PL)

3.    Ronny Tamsiran (PL)

4.    Soetimin Marsidin (PL)

5.    Marta Djojoseparto (PL)

6.    Oesman Wangsabesari (KTPI)

7.    Remy Karnadi (NDP)

8.    Jenny Warsodikromo (NDP)

9.    Refano Wongsoredjo (KTPI) yang kebetulan masih cucunya Sarmoedjie, penulis makalah ini.

Hasil Pemilu 2010 itu pula, telah berhasil memilih Letkol (Purn) Desi Desire Bouterse (Partai NDP), mantan Penguasa Perang sekaligus mantan Diktator Suriname beberapa waktu yang lalu, sebagai Presiden Republik Suriname dengan Wakil Presidennya Robert Amirali, seorang profesional yang diusung oleh Partai ACombinasi.

Dari Kabinet yang baru dilantik itu 6 orang Menterinya adalah Wong Jowo, yaitu

1.    Menteri Dalam Negeri (Binnenlandse Zaken), Drs. Soewarto Moestadja (PL)

2.    Menteri Pendidikan (Onderwijs & Volksontwikkeling), Mr. Raymond Sapoen (PL)

3.    Menteri Pertanian (Landbouw, Veeteelt & Visserij), Hendrik Setrowidjojo (PL)

4.    Menteri Kehutanan (Ruimte Ordening, Grond & Bosbeheer), Drs. Martinus Sastroredjo (KTPI)

5.    Menteri Tenaga Kerja, Teknologi & Lingkungan Hidup (Arbeit, Technologi, Ontwikkeling & Milieu), Ginmardo Kromosoeto, BSc (NDP)

6.    Menteri Perdagangan & Industri (Handel & Industrie), Michael Miskin (NDP).

Ini menunjukan bahwa kehidupan beragama, berpolitik, kondisi perekonomian, sosial dan kebudayaan orang-orang Indonesia di Suriname, telah jauh lebih baik.

Banyak di antara mereka yang berkunjung ke Indonesia untuk menelusuri sanak familinya maupun keperluan lainnya. Bahkan sudah ada hubungan dagang antara Suriname dengan Indonesia, walaupun sifatnya masih kecil-kecilan. Tercatat beberapa Pengusaha kondang yang Wong Jowo telah menjalin hubungan bisnis dengan Indonesia antara lain Bapak Willem Soedijono, Bapak Bob Saridin, Bapak Lincoln Amin Abas, dll. Pengiriman beberapa orang artis Indonesia ke Suriname, sumbangan gamelan Jawa oleh Bapak Sultan Hamengkubuwono X dan baru-baru ini Team Cabaret Suriname pimpinan Captain Does telah berkunjung dan uji coba pentas di Surabaya, Solo, DIY dan Bandar Lampung. Beberapa Mahasiswa yang notabene orang-orang Indonesia asal Suriname ada yang belajar di Indonesia, untuk memperoleh strata 1, strata 2 dan ada pula seorang Perwira Angkatan Darat Suriname, Mayor Lesly Nojodipo yang keturunan Jawa, telah selesai mengikuti Pendidikan Regular di Sekolah Staf dan Komando (Sesko) TNI-AD di Bandung.

Hubungan sosial antara kedua masyarakatpun sudah terjalin. Dari Suriname diprakarsai oleh SIFA (Suriname Indonesia Friendship Association) Pimpinan Bapak Drs. Kadi Kartokromo dan dari Indonesia diwakili oleh Perhimpunan Anak Transmigran Republik Indonesia (PATRI). Kedua organisasi yang baru dibentuk itu diberi nama Perhimpunan Warga Indonesia – Suriname (Pewaris).

Pewaris telah disahkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, Bpk Drs. Fahmi Idris di Jakarta pada tanggal 24 Desember 2004, dihadiri oleh Dubes Suriname untuk Indonesia, Bapak Sayidi Rasam dan Dubes Indonesia untuk Suriname, Bapak Suparmin Sunjoyo. Sebagai Sekretaris Pewaris adalah Bpk Ir. Sugiarto Sumas, MT yang Jabatan strukturalnya sebagai Direktur Promosi, Investasi dan Kemitraan (PIK) Depnakertrans. Semoga, hubungan “mesra” kedua masyarakat yang sesuku dan serumpun, meskipun berlainan Warga Negara itu, terus maju dan berkembang sesuai dengan tuntutan dan kemajuan zaman.

Kelihatannya orang-orang Indonesia, yang masih tinggal di Suriname maupun yang tinggal di Negeri Belanda, telah menjadikan Republik Suriname sebagai tanah airnya yang baru.

Mereka menyatakan lebih baik tidak pulang dan tinggal di Suriname daripada tinggal di Indonesia. Ini bisa dimengerti, karena mereka lebih mengenal Negeri Belanda dan Suriname daripada Indonesia. Berbeda dengan rekan-rekan mereka yang telah pulang ke Indonesia. Mereka telah menjadikan Indonesia sebagai tanah tumpah darahnya, meskipun banyak di antara mereka yang lahir di Suriname.

Dikutip dari tulisan Kolonel Laut (Purnawirawan) Drs. H. Sarmoedjie.

 

Sumber : Wikipedia Indonesia

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini